Sunday, January 23, 2005

“Untukmu yang begitu beruntung”

Lihatlah aku terkapar begitu saja
Larut dalam detik demi detik waktu, begitu saja

Kuhirup udara yang kau hirup
Kumakan apa yang kau makan

Ku ada karna kau ada, seperti itukah ?
Kuberdiri ditanah tempat kau berdiri
Dan aku sepertimu…mencintainya.

Raih aku dengan setes keringatmu
Peluk aku dengan senyummu
Hangatkan aku dengan kepedulianmu

Beruntung kau bisa menikmati senja
Senja yang itu-itu saja

Hangatmu belum tentu hangatku
Hangatku hanya sepercik hangatmu

Andai kau mau berbagi
Hanya sebutir air di lautan kepedulianmu

Mungkin aku akan menambal sedikit
Selimut hangatmu

Mungkin aku akan mempercantik
Senjamu, duniamu, dan hidupmu

Aku yang terdiam menanti kau mengulurkan
Mengulurkan tangan dengan membuka wacana berpikirku

Lukisan

Lukisan

Mencoba berdiri dikakinya sendiri untuk setiap apa yang dia lakukan dan selalu membiarkan segalanya mengalir begitu saja.
Dia tidak bisa dengan mudah mendapatkan apa yang dia inginkan, walaupun terkadang keberuntungan menemaninya tuk beberapa saat.

“Aku tahu aku tak dapat begitu mudah mendapatkan segala sesuatu, tapi aku tak akan menyesalinya”
Adakah senja kan berubah menjadi pagi kembali.

Dia selalu bercerita bahwa dia mendapatkan segala sesuatunya begitu sulit, dia layak mendapatkan lebih, tapi apa yang terjadi.
Dengan membiarkan hidup mengalir, hanya saja alam saat ini begitu tak ramah menjamah, entah berjuta apa yang telah menghampirinya hingga dia bisa seperti saat ini.
Dalam sekejap impian telah mendekatinya dari berjuta arah, jelas, secerah siang yang cerah.

***

Dengan nada lirih dia bercerita, saat itu aku berada dalam ruang, ruang yang aku sendiri tak mengerti bentuknya, tapi ruangan itu begitu kukenal.
Aku mencoba untuk mengamati setiap bentuk dari ruang yang aku lihat saat itu, sebuah lemari dengan rak yang tersusun rapi, dan sebuah vas bunga cantik menghiasinya.
Sebuah piano tua yang tertata begitu apik dan serasi dengan ruangan yang begitu tak asing bagiku. Disisi lain terlihat sofa dengan susunan bantal yang nampak begitu nyaman.
Aku tak mengerti seakan tangan ini terus memaksa untuk menyentuh setiap apa yang aku lihat, tapi tubuh ini seakan menolak seluruh keinganku.
Lama aku berdiri disana, hanya saja segalanya begitu tak asing, sepatu nike keluaran baru, tas rip curl, celana billabong gombrang model baru, dan sebuah mobil-mobilan tergeletak begitu saja diatas meja.
Harum ini, suasana ini, begitu menenangkan dan perlahan kuamati setiap bagian dari ruangan ini seakan mata ini tak terasa lelah.
Seketika saja ada sesuatu yang janggal melintas didepan mataku, sebuah lukisan yang menempel didinding.Aku hanya bisa terdiam, seluruh badanku masih terasa kaku, dan seketika saja bergetar, keringat mulai menetes perlahan dari dahi sampai terasa perih mata ini.
Entah berjuta kekuatan apa yang memaksa kepalaku untuk tak bergerak sedikitpun, walau aku berusaha untuk tak melihat lukisan itu, bahkan mata ini tak mau tertutup. Perlahan Air hangat mengalir keluar dari mata ini, air mata yang bercampur dengan keringat seakan telah mengeluarkan segala yang ada dalam benakku, aku tak bisa menahannya lagi, kemudian segalanya begitu terang, begitu menyilaukan.
Tak berapa lama semua menjadi gelap begitu saja, hanya terdengar suara dikejauhan.
“Bagaimana ini ?, siapa yang akan membayar, anda bukan keluarganya ?”, terdengar jawaban “Bukan…”, terdengar suara lirih kembali “Baiklah biar saya menanggung semuanya”

***

Sore itu dipelataran parkir yang nampak jejal oleh pejalan kaki dan deru kendaraan, sehingga udara terasa begitu sesak, setiap orang memperebutkan oksigen karena dikota ini, penghasil oksigen sudah tak dibiarkan tumbuh, terseret oleh gedung-gedung.
Seorang anak berlari begitu cepat menggenggam sebuah mobil-mobilan, tak beralas kaki dengan pakaian yang lusuh, dikejar oleh beberapa orang berseragam (satpam sebuah mall).
“Hei…maling kecil…sini kamu, jangan lari…!!”!. Orang-orang nampak tak begitu terpengaruh, mereka terlalu sibuk dengan kegiatan mereka sendiri.
Seketika terdengar bunyi kendaraan mendecit, yang diiringi jeritan seorang ibu diseberang jalan. Seorang anak menggelepar disisi jalan bersimbah darah, menggenggam sebuah mobil-mobilan.

***

Perlahan ku buka mataku, terlihat asing setiap jengkal ruangan ini, semua serba putih, dan beberapa selang kecil menempel ditubuhku dan tubuhk ku terasa begitu nyeri.
“Ah… sudah bangun rupanya, selamat pagi nak, jangan takut…., kamu aman sekarang”.

***

Kami pun larut dalam percakapan, “Lalu apa yang kau lihat dilukisan itu nak ?, apa….?”
Kemudian dia melanjutkan ceritanya, “Aku melihat empat gambar disitu, gambarku, satu orang memakai jas, satu lagi memakai kebaya dan yang satu lagi berseragam satpam nampak rapi, tapi dua orang dari mereka wajahnya tak kukenali”.

“Yang mana ?”.

-2001-